➷Ale Writer
Hi guys..
Ada yang baru nih! Yap ale akan share Asal-usul Kota
Cirebon menurut cerita Babad.. Happy rading good people :*
Lost of love and affection, Ale💖
Lawas
Kota Cirebon
Kota Cirebon sudah lama dikenal dengan
budayanya yang sangat kuat. Bahkan, nama-nama jalan di kota ini memiliki
asal-usul tersendiri. Memang banyak versi berkembang, perjalanan Putra Prabu
Siliwangi, Walangsungsang saat melakukan Babad Yaksa menjadi
salahsatu asal muasal penamaan sejumlah daerah di wilayah Cirebon.
Beberapa versi
soal penamaan sejumlah daerah di Cirebon, yang dirangkum radarcirebon.com, di
antaranya Sejarah Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Tanah Sunda (BTS) memiliki
perbedaan satu sama lainnya. Namun, perbedaan ini adalah sebuah kekayaan
tersendiri bagi gerage (negeri gede), sebutan Cirebon dari naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN).
Dalam
buku Sunan Gunung Jati (Antara Fiksi dan Fakta), Pembumian Islam dengan
Pendekatan Struktural dan Kultural yang ditulis Dr H Dadan Wildan
MHum, di dalamnya juga memuat cerita di balik penamaan tempat-tempat di
Cirebon. Sejarah Cirebon jilid kedua menguraikan panjang lebar tentang
asal-usul sebuah tempat terutama Lemahwungkuk, Panjunan, Pasayangan,
Pekarungan, Gunungsari, Dukuh Semar, Kebon Pring, Pekalangan, Pandesan,
Parujakan, Anjatan, Pulasaren dan Jagasatru.
Cerita itu
bermula ketika Walangsungsang alias Somadullah berpamitan menuju arah selatan
dari Gunung Jati. Hari itu adalah hari Sabtu. Walangsungsang sampai di tempat
yang sunyi dan tidak ada seorang pun kecuali seorang lelaki yang sudah sangat
tua bernama Ki Pangalang-alang.
Sesampainya di
tempat itu, Walangsungsang mengucapkan kalimat lamma waqo’tu atau saya telah
tiba. Karenanya tempat itu dinamakan Lemahwungkuk. Usai sembahyang,
Walangsungsang keluar dari rumah untuk memulai pekerjaan. Ia melihat banyak
pohon besar, bahkan ada yang tingginya 500 meter, dengan rajin dia membuka
hutan belukar, menebang pepohonan menuju arah utara Lemahwungkuk. Hingga dia
tiba di suatu tempat yang banyak binatang buas, lalu ia membaca doa agar
terhindar dari celaka.
Setelah
selamat dari gangguan, ia berucap fa anjaena yang artinya aku telah selamat.
Oleh karena itu tempat itu dinamakan Panjunan. Perjalanan berikutnya,
Walangsungsang berjalan ke arah barat sampai ia merasa kebingungan dan tidak
tahu jalan. Ia kembali membaca doa dan nampaklah jalan, dan ketika itu dia
berucap fasyalamuna artinya mengetahuilah. Tempat ini kemudian dinamai
Pasayangan. Perjalanan Walangsungsang kemudian berlanjut ke daerah yang menjadi
cikal bakal Pekarungan.
Asal kata
Pekarungan sendiri adalah fakkarnaa, kata yang diucapkan Walangsungsang saat
merasa bimbang akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Perjalanan berlanjut dan
Walangsungsang pun merasa senang, tempat itu kemudian dinamakan Gunung Sari dan
Dukuh Semar dari ucapan Walangsungsang qooma sirri jami’an samarin.
Dari
perjalanan Walangsungsang itu beberapa daerah memiliki cikal bakal nama seperti
Parujakan yang asal katanya farjanaa, Pekalangan yang juga berasal dari ucapan
Walangsungsang yaitu fachlonaa (aku terlupa pikiran), Pandesan yang berasal
dari fahandasnaa (aku dapat petunjuk), rokibuna rumatallahi farihin yang
menjadi cikal bakal Kebon Pring, faroaetu aajataini (aku melihat dua tanda)
yang kini daerahnya disebut Anjatan.
Perjalanan
Walangsungsang menuju arah selatan juga menjadi cikal bakal nama daerah seperti
Pulasaren yang berasal dari falaa sasarenaa (aku tidak terus berjalan). Cerita
legenda tersebut terutama pada asal mula Panjunan berbeda dengan Babad Tanah
Sunda, ceritanya berawal dari Negeri Baghdad, dimana Sultan Maulana Sulaeman
tidak tentram lantaran anak-anaknya tidak mengindahkan aturan agama.
Ketiga anaknya
kemudian dikirim ke Cirebon untuk berguru pada Syekh Nurjati atas saran Syekh
Juned. Ketiga anak Sultan Maulana Sulaeman, Syarif Abdurrahman, Syarif Kafi dan
Syarifah Baghdad kemudian berguru pada Syekh Nurjati. Singkat cerita, Syarif
Abdurrahman menjadi ayunaning orang (pemimpin masyarakat) yang bekerja membuat
keramik dari tanah liat. Kemudian ia disebut Pangeran Panjunan. Karenanya
pemakamannya pun disebut Dukuh Panjunan pada 1464.
Berdasarkan Babad
Tanah Sunda, ada beberapa daerah lain yang memiliki cerita legenda seperti
Kejaksan, Kapetakan, Gunung Ciremai dan Pakungwati. Salahsatunya nama Kejaksan
yang diambil dari nama jabatan Syarif Abdurrahim ketika tinggal di Cirebon.
Saat itu Syarif Abdurrahim menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan
disebut Pangeran Kejaksan.
Keraton
Kanoman punya catatan tersendiri untuk legenda nama-nama jalan ini. Catatan
Budayawan TD Sujana yang didokumentasikan dalam pustaka Keraton Kanoman juga
menceritakan asal mula 54 daerah di wilayah Cirebon. Sumber topo nimi yang
dibuat TD Sujana, adalah Babad Cirebon.
Dari sekian
banyak legenda nama jalan tersebut, hanya akan dibahas beberapa di tulisan ini
terutama yang memiliki perbedaan versi dengan perjalanan Walangsungsang yang
ditulis dalam naskah Sejarah Cirebon. Misalnya Pulasaren yang
dalam tulisan TD Sujana penamaan tersebut dikarenakan ada sebuah rumah milik
Pangeran Pulasaren.
Kemudian
Lemahwungkuk yang menurut TD Sujana dinamakan demikian karena tanah di kawasan
itu yang memang paling tinggi dari seluruh dataran Kota Cirebon. Sunan Kalijaga
waktu itu datang ke Cirebon untuk berguru pada Sunan Gunung Jati, setelah
berhari-hari menunggu kemudian dia tertidur dalam keadaan duduk membungkuk.
Inilah asal-usul Lemahwungkuk.
Sedangkan
Pekalangan, menurut catatan TD Sujana, berasal dari salahsatu rumah milik Ki
Gedheng Pekalangan yang juga berfungsi untuk memelihara Ki Pedati Gedhe. Untuk
kawasan Karanggetas, nama ini berasal dari kondisi tanah yang bila musim
kemarau kekeringan tetapi pada musim hujan tanahnya gembur.
Untuk
Panjunan, dalam catatan TD Sujana penamaan tempat didasarkan pada Pangeran
Panjunan yang saat itu tinggal di kawasan tersebut. Berikut foto Pasar
Bolong Tjirebon 1906-1931,
Juru Bicara
Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina ST, mengatakan, perbedaan-perbedaan
cerita legenda soal penamaan tempat di wilayah Cirebon memang menghadirkan
kesulitan tersendiri dalam melakukan inventarisasi. Tetapi, perbedaan-perbedaan
tersebut menjadi salahsatu ciri bahwa Cirebon adalah daerah dengan latar
belakang budaya yang sangat kuat. “Ini salahsatu bukti kekuatan budaya dan
latar belakang sejarah yang dimiliki Cirebon,” ujar Arimbi di kediamannya di
komplek Keraton Kanoman.
Menurut
Arimbi, masing-masing versi memiliki latar belakang sendiri soal penamaan
sebuah tempat. Misalnya penamaan Panjunan yang dasarnya adalah tempat tinggal
Pangeran Panjunan atau Kejaksan yang merupakan jabatan Jaksa yang diemban
Pangeran Kejaksan. Namun, Arimbi
sekali lagi menegaskan, penamaan tempat yang memiliki latar belakang cerita
legenda adalah bukti bahwa Kota Cirebon adalah kota yang memiliki akar budaya
yang sangat kuat. Saat ini, Keraton Kanoman terus melakukan inventarisir
terhadap naskah-naskah kuno dan melakukan pengarsipan, baik secara manual dan
digital.
Salah satu
sumbangan masyarakat yang sudah di pustaka-kan oleh keraton adalah tulisan topo
nimi TD Sujana yang di dalamnya juga banyak memuat cerita di balik penamaan
nama-nama daerah di wilayah Cirebon. Beberapa daerah memang sudah mengalami
perubahan nama, misalnya Jl Nyi Mas Gandasari yang hingga kini tetap lekang
dalam ingatan masyarakat yang terus menyebut kawasan ini adalah Jl Parujakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar