TARI TOPENG YANG MENDUNIA, PESONA KOTA BUDAYA INDRAMAYU


Kenangan Masa Kecil

Patrol!
Itulah yang terlintas pertama kali di benak saja ketika orang membicarakan Indramayu. Karena daerah ini beberapa kali saya lewati dalam perjalanan saya dari Kuningan menuju Cilegon. Terakhir kalinya melintas di sini bersama suami 12 tahun yang lalu, pernikahan kami baru berusia 2 hari kala itu.

Bagaimana tidak selalu terkenang dengan Patrol? Daerah itu adalah tempat terpadat yang harus dilalui kendaraan umum, bercampur baur dengan truk-truk juga pasar tumpah. Kamu akan merasa lega setelah melewati Kalitimbang dan Patrol. Walaupun begitu, suasananya selalu membuat kangen.
Sejak kecil saya tinggal di sebuah kota kecil di bawah kaki Gunung Ciremai. Bapak saya bekerja di Dinas Pendapatan Daerah yang terkadang mengharuskan beliau untuk pergi ke beberapa daerah di sekitarnya, seperti Cirebon dan Indramayu. Sepulang dari tempat-tempat tersebut, biasanya Bapak banyak cerita tentang tempat-tempat yang dilaluinya.

Jatibarang, Haurgeulis, Patrol, Karangampel, Bongas, Kandanghaur, Eretan adalah nama-nama yang masih saya ingat dari cerita beliau. Tapi, dari semua itu yang paling saya suka adalah saat pulang ke rumah, Bapak selalu membawa buah tangan buah mangga khas Indramayu yang dikemas dalam "boboko", keranjang yang terbuat dari ayaman serutan bambu. Gedong Gincu, begitu kami menyebutnya. Mungkin karena warna merah kulitnya mirip dengan gincu atau lipstik.
Indramayu, kota pinggir laut Jawa ini, letaknya berbatasan dengan Cirebon yang dipengaruhi budaya Jawa Timur dan Sumedang, Majalengka serta Subang yang membawa pengaruh budaya Sunda. Hmmm, bisa dibayangkan betapa Indramayu ini mempunyai keanekaragaman budaya. Belum lagi di zaman dahulu di sekitar pertengahan abad ke-17, daerah yang terletak di Lembah Sungai Cimanuk ini pernah menjadi kota pelabuhan yang ramai. Berbagai bangsa bertemu di sini. China, Belanda, Jepang pernah mendarat di bumi Pangeran Wiralodra ini dan berbaur dengan penduduk lokal. Tidak heran jika seni dan budaya di kota yang berjarak 207 KM ke arah Timur Jakarta ini, sangat beragam.
"Indramayu itu jauh ngga, Pak?" Samar-samar saya teringat percakapan dengan Bapak di waktu kecil. "Indramayu itu seperti apa?" Lanjut saya penasaran.
Bapak menjawab, "Indramayu itu tempat pertemuan budaya. Jasun! Perpaduan  budaya Jawa dan Sunda. Dulu, sebagian Indramayu masuk Kerajaan Sumedang Larang dan Galuh."
“Indramayu, kota yang kaya warna dan beragam seni budaya”

Setelah beranjak remaja dan melewati Jalur Pantai Utara yang melintasi Kabupaten Indramayu, baru saya mengerti dengan ucapan Bapak. Indramayu dilalui jalur utama Pantura yang menghubungkan daerah Sunda dan Jawa. Akulturasi kebudayaan terjadi ketika para perantau dari Timur (Suku Jawa) dan perantau dari Selatan (Suku Sunda) bertemu dengan penduduk asli Indramayu. Sehingga tidak heran jika di sini ditemukan berbagai jenis dialek dan tradisi yang justru semakin memperkaya khasanah budaya daerah Indramayu, selain dari pengaruh luar.
"Pokoknya lucu deh, Na, cara ngomongnya itu lho. Ucapannya Bahasa Sunda tapi dialeknya Jawa," papar seorang teman sehabis mengunjugi keluarga bapak mertuanya di Indramayu. "Bahasa aslinya dipengaruhi Cirebon. Jadi bahasanya mirip Cirebon, tapi dialek Indramayu. Orang menyebutnya Bahasa Dermayon," imbuhnya lagi dengan mimik muka takjub dan bersemangat saat menceritakan tentang Indramayu.

Selain dari uniknya bahasa sehari-hari yang dipakai, tentunya akulturasi budaya ini membawa pengaruh dalam hal kesenian atau pun adat istiadat setempat. Adat dan tradisi yang berusia ratusan tahun ini masih bertahan di tengah gempuran zaman di era globalisasi seperti saat ini.
Tradisi Nadran yang dilakukan para nelayan Pantura untuk mensyukuri hasil laut yang mereka peroleh; tradisi Ngarot di Desa Lelea, para gadis berdandan cantik dengan hiasan bunga-bunga di kepala untuk menyambut datangnya musim penghujan yang berarti musim tanam padi sudah di depan mata; tradisi Mapag Sri sebagai ucapan syukur para petani kepada Yang Maha Esa atas hasil panen yang melimpah; dan tradisi-tradisi lainnya yang semakin memperkuat posisi Indramayu sebagai Kota Budaya.

Dari segi kesenian pun, Indramayu kaya warna. Sebut saja Sintren yang mana penarinya dipercaya dalam keadaan trance. Si penari diikat, dikurung dalam kurungan ayam yang tertutup, dan beberapa saat kemudian dia bisa lepas, keluar dari kurungan tersebut dalam keadaan lengkap berpakaian tari dan berkacamata hitam. Ada juga seni Tarling, Berokan yang mirip dengan Barongsai. Lho kok ada pengaruh Cina juga? Seperti telah diutarakan di atas, disinyalir daerah Pantai Utara Jawa ini merupakan gerbang masuk bangsa lain, seperti orang-orang Cina yang memberi warna terhadap budaya lokal. Ciri khas ini tampak pula pada motif batik Paoman, khas Indramayu pun diwarnai kebudayaan Cina.
Terpikat Pesona Tari Topeng Indramayu
Tetapi dari beragam seni dan budaya Indramayu, ada satu kesenian yang membuat saya tertarik, yaitu Tari Topeng. Maestro Tari Topeng Indramayu yang termasyur adalah Mimi Rasinah. Beliau mempunyai tekad yang kuat untuk melestarikan salah satu seni budaya Indramayu ini. Saat membaca kisah Mimi Rasinah, yang hingga menjelang akhir hayatnya pun masih menari, mau tidak mau hati saya penasaran.
“Saya Akan Berhenti Menari Kalau Sudah Mati.”
(Mimi Rasinah, Maestro Tari Topeng)
Saat menari, muka penari ditutupi oleh sebuah topeng yang melukiskan karakter tertentu, dilengkapi dengan ronce panjang di kedua sisi telinga mahkota yang dikenakan penari. Mimi Rasinah yang sudah berusia sepuh terlihat masih enerjik menarikan tarian Topeng Panji di panggung Bentara Budaya. Lengannya dengan lemah gemulai menari dibalik topeng berwarna putih itu. Tidak terlihat sama sekali bahwa yang menari itu adalah sosok yang telah sepuh. Keren sekali!
Tari Topeng telah melalui proses perjalanan yang panjang selama berabad lamanya. Topeng yang digunakan bermacam-macam, ada topeng Panji, topeng Tumenggung, topeng Klana (Rahwana), topeng Rumyang, dan topeng Samba. Biasanya karakter tersebut diambil dari tokoh-tokoh kerajaan zaman dahulu.
Jenis-jenis topeng yang digunakan pada Tari Topeng Indramayu.


Saya ingat Ayah pernah bercerita mengenai tokoh ratu Kencana Wungu dan Menak Jingga. Ayah memang penggemar budaya dan sejarah, cerita beliau selalu menarik bagi saya. Mungkin itu sebabnya saya suka sejarah dan seni budaya. Pada Tari Topeng Kelana Kencana Wungu ini, menceritakan tentang Menak Jingga yang tergila-gila dengan kecantikan Kencana Wungu dan mengejarnya dengan segala cara, namun tidak membuahkan hasil.
Sayangnya tarian ini sempat dilarang karena disinyalir gerakan tariannya membangkitkan syahwat dan abangan. Mengenai hal ini, saya pernah bertanya kepada salah seorang kawan yang berasal dari Indramayu.
“Benarkan gerakan Tari Topeng ini sensual sehingga pernah pada zaman dahulu tarian ini dilarang, karena takut membawa pengaruh negatif?”
Kebingungan terbersit di wajahnya. “Wah, kalau ini malah baru tahu. Seingat saya, di waktu kecil dulu sering nonton, gerakannya sih tidak sensual atau erotis,” bantahnya. “Terkadang gerakannya justru gagah, tergantung peran yang dibawakannya.”
Saya mengangguk-angguk. “kenapa malah dianggap begitu ya, kesannya?”
“Tari Topeng itu adalah tarian rakyat, Na. Jadi, mirip dengan pengamen atau topeng monyet. Rombongan penari topeng ini berkeliling kampung, terus begitu selesai penari berkeliling sambil mengasongkan topengnya sebagai wadah untuk uang pemberian dari penonton. Rombongan ini berpindah dari satu tempat ke tempat lain membawakan lelakon cerita.”

Tari Topeng Indramayu, terus maju ke kancah internasional, diteruskan oleh Aerly Rasinah.


“Wah, seru juga ternyata. Tapi, mungkin saya mengerti kenapa Tari Topeng ini pernah dilarang,” kata saya sok tahu. “Sepertinya gerakan Tari Topeng, termasuk jenis topengnya mempunyai filosofi tertentu yang menggambarkan perilaku para raja atau pemimpin.”
Bisa jadi kan? Tarian Topeng ini merupakan lelakon yang dibawakan oleh rombongan penari keliling pada zaman dahulu. Jadi cerita-cerita di seputaran kerajaan atau pusat pemerintahan bisa cepat tersebar melalui jenis lelakon separti ini. Semacam spionase di masa lampau? Ah, itu hanya pikiran liar saya saja. Please, abaikan.
“Topengku, Jiwaku . . .” (Mimi Rasinah, Maestro Tari Topeng)
Topeng yang digunakan bentuk dan warnanya berbeda-beda. Masing-masing mewakili karakter atau watak tokoh yang dimainkan. Misalkan, penari Topeng Klana menggunakan topeng dan kostum yang didominasi warna merah. Merah ini melambangkan hasrat, nafsu dan keinginan pada jiwa manusia. Tarian Topeng Klana menggambarkan orang yang serakah, penuh dengan amarah dan angkara murka, yang diperjelas dengan visualisasi gerakan langkah kaki yang menghentak dan lengan selalu terbuka dengan jari yang mengepal.
Bagian akhir dimana penari berkeliling untuk meminta uang, konon katanya merupakan simbol raja kaya raya yang selalu saja tidak merasa cukup dengan apa yang telah dimilikinya, sehingga harus terus menerus merampas harta rakyat kecil.
Membaca mengenai perjalanan Tari Topeng, perasaan bangga ikut menyeruak di relung kalbu. Ternyata tarian asal Indramayu ini sudah melanglang dunia. Di bawah pimpinan Mimi Rasinah sang maestro, Tari Topeng pernah meninggalkan jejak di dunia internasional, seperti di Jepang, Inggris, Perancis bahkan sampai ke Benua Amerika. Ya, walaupun sang maestro kini telah tiada, tetapi Tari Topeng terus menjadi kesenian khas Indramayu yang menawan hati yang kini dilanjutkan oleh cucunya, Aerly Rasinah yang selalu teringat dengan ucapan Mimi Rasinah, “Topengku, jiwaku. Sesungguhnya ia tengah mengajarkan kita untuk mencintai sesuatu dengan ketulusan dan tanpa pernah berhenti.”
Mimi Rasinah, semangatnya untuk terus menari hingga akhir hayat, menginspirasi.



Nah, begitu cerita mengenai ragam budaya yang ada Indramayu. Oya, tanggal 7 Oktober nanti, Kota Budaya ini berulang tahun lho. Selamat Ulang Tahun Indramayu! Semoga seni dan budaya Indramayu ini tetap eksis dan melanglang benua. Tidak lupa, selamat ulang tahun ke-3 juga untuk Komunitas Blogger Indramayu! Semoga tetap semangat mengangkat seputar Indramayu. Semoga bisa eksplor Indramayu, dan merasakan enaknya kue Koci yang tersohor. Aamiin.


***
Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Indramayu Kota Budaya
Dalam rangka memperingati hari jadi Kota Indramayu ke-489, pada tanggal 7 Oktober dan milad ke-3 Komunitas Blogger Indramayu, pada tanggal 28 Oktober.




dipublikasikan oleh: Annah Triyana Dewi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram