Mungkin tidak banyak yang tahu siapa
sosok Rasinah. Namun, bagi masyarakat Jawa Barat, namanya begitu melegenda di
balik keberingasan dan kegemulaiannya di atas panggung, meskipun kini dirinya
telah tiada.
Mimi Rasinah, begitulah ia kerap
dipanggil. Mimi merupakan sebutan masyarakat Indramayu dan Cirebon untuk ibu,
sedangkan sebutan untuk ayah adalah mama.
Dedikasinya pada tari topeng telah
memberikan inspirasi bagi banyak kalangan. Bahkan kiprahnya pun juga
didokumntasikan dalam film berjudul Rasinah: The Enchanted Mask yang
berdurasi 54 menit dan disutradarai oleh Rhoda Graurer, asal Amerika Serikat.
Mimi Rasinah bertekad untuk terus
membawakan tarian yang konon diciptakan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati
sebagai media penyebaran agama islam di wilayah Cirebon, sampai akhir nyawanya.
Tanpa keluh, Mimi Rasinah pun akah tetap menari meskipun fisiknya sedang sakit.
Wanita kelahiran 3 Februari 1930 ini
telah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya sejak usia lima tahun.
Memiliki kedua orangtua yang merupakan penggiat seni, tak heran jika darah
seniman mengalir dalam diri Mimi Rasinah.
Mimi Rasinah cilik bahkan sudah ikut
mengamen tari topeng berkeliling bersama ayahnya. Kehidupan yang keras telah
menempanya sejak kecil, seperti saat Jepang menyerbu Indramayu. Kelompok tari
keliling milik ayahnya dibekukan, karena dianggap sebagai mata-mata oleh
Jepang. Semua perangkat tari topengnya pun dimusnahkan. Hingga pada akhirnya,
Lastra, ayah Mimi Rasinah, ditembak mati oleh Belanda, karena diangap sebagai
intel berkedok tari topeng.
Badai kembali menguji Mimi Rasinah.
Adanya tragedi Gestapu melarangnya untuk menampilkan lincah gemulai tari
topeng, karena dianggap sebagai tarian yang seronok. Tak cukup dengan itu,
tahun 1970 pun kembali menjadi mimpi buruk bagi kesenian yang diusungnya.
Adanya sandiwara pantura membuat tarian topengnya tersingkir.
Dengan berat hati Mimi Rasinah pun
menjual semua topeng beserta aksesorisnya. Ia melanjutkan hidup dengan
membangun kelompok sandiwara pantura, menggunakan uang hasil penjualan. Selama
dua puluh tahun lebih, hidup Mimi Rasinah pun semakin menjauh dari panggilan
jiwanya sebagai seniman tari topeng. Beberapa pekerjaan ia lakoni, sebagai
penabuh gamelan hingga pengasuh bayi.
Setelah menanti sekian lama untuk
menggapai mimpinya, tahun 1999, seorang dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia
(STSI) Bandung, Endo Suanda, beserta Toto Asmar, menemui Mimi Rasinah untuk
mengumpulkan kembali harapannya. Kedua pria ini memintanya untuk mempertunjukan
tari topeng.
Usia bukan menjadi penghalang bagi Mimi
Rasinah untuk membuktikan kecintaannya pada tari topeng, yang membutuhkan
energi prima untuk membawakannya. Namun, wanita yang telah lanjut usia itu
masih tetap lincah dan gesit membawakan tari topeng. Alhasil, kedua penggiat
tari tradisional Jawa Barat itu mendorong Mimi Rasinah untuk kembali ke
jalurnya, menjadi seorang wanita yang berlenggak-lenggok di balik topeng.
Dengan semangat yang menggelora, Mimi
Rasinah membuktikan jika usia bukanlah halangan untuk terus melestarikan budaya
bangsa. Terbukti, panggung bagi wanita kelahiran Indramayu ini pun merambah ke
manca negara, dari negeri sakura hingga benua biru Eropa.
Pentas demi pentas ia lakoni, aura
magisnya pun terus terpancar di atas panggung. Kecintaan Mimi Rasinah pada
belahan jiwanya ini juga ditunjukkan dengan mengajarkan tari topeng di
sekolah-sekolah di Indramayu.
Namun, semesta seolah menginginkan Mimi
Rasinah berhenti menari. Pada tahun 2006, legenda dari Jawa Barat ini terkena
stroke. Meski begitu Mimi Rasinah tetap kukuh tidak mau berhenti menari sampai
mati.
Keberadaan sanggar tari topengnya pun
diwariskan pada cucunya, Aerli. Biar bagaimana pun Mimi Rasinah tetap tidak
ingin menjadi penari yang cengeng dengan berhenti berkarya.
Wanita renta itu terus bergerilya
melawan sakitnya. Dalam kondisi badan yang sebagian telah mati karena stroke,
undangan menari di Bentara Budaya Jakarta kala itu pun tetap dilakoninya. Aura
magis Mimi Rasinah tetap menghipnotis di atas panggung saat memeragakan Tari
Panji Rogoh sukma.
Tak ada yang menduga jika tarian
tersebut merupakan persembahan terakhirnya. Beberapa hari kemudian, pada 7
Agustus 2010, Mimi Rasinah dipanggil untuk menghadap Sang Pencipta. Meskipun
raganya sudah tidak ada, kini nama Mimi Rasinah telah menjadi seorang legenda
di balik topengnya.
Sedangkan disisi lain terdapat seseorang maestro
tari topeng kreyo terakhir yang beralih menjadi tukang pijit.
Matanya berbinar seakan mendapatkan kembali jiwanya
sebagai seniman tari topeng Cirebon. Tubuhnya yang kecil dan renta tak
mematahkan semangat Mimi Tumus menampilkan keluwesannya menari Topeng Kelana
Cirebon.
Di usianya yang ke-80 tahun dan lebih dari 10 tahun tidak
menari. Mimi Tumus kembali menghibur warga Desa Kreyo, Kabupaten Cirebon, pada
acara Youth Environmental Award (YEA) 2016. Penampilan Mimi Tumus mampu membuat
mata penonton tak berkedip.
Mimi Tumus tampil maksimal di hadapan penonton, khususnya
tamu undangan dari Keraton Kanoman Cirebon. Setiap gerak langkah kaki dan
tangannya dibarengi dengan mimic muka yang sesuai dengan karakter tarinya. Mimi
Tumus mengaku sangat senang dalam penampilannya itu.
“Saya dirayu sama anak-anak dari Sanggar Lingkungan Hidup
(SLH) yang kebetulan lokasinya dekat dengan rumah saya di Desa Kreyo. Saya
menganggap mereka juga anak-anak saya akhirnya saya mau menari lagi untuk
mereka saja.” Ucap Mimi Tumus. Rabu, 27 Juli 2016.
Darah seni memang sudah mengalir dalam tubuh Mimi Tumus.
Tanpa kesulitan yang berarti ia mampu menjalani proses dan menjadi penari
topeng professional di zamannya.
“Sebelum menari saya belajar main gamelan dahulu mungkin
sudah 15 tahun. Orang-orang justru menonton saya, bukan menonton penarinya
karena saya perempuan kecil sendirian dan lihai memainkan Saron (salah satu
gamelan) kanan yang sulit.” Mimi Tumus mengenang.
Saat itu Tumus remaja yang sudah lihai memainkan alat
musik tradisional diminta untuk belajar menari topeng oleh ibu dan uwaknya.
Tawaran tersebut awalnya ditolak karena malu. Lagipula, ia waktu sudah
dipercaya sebagai pemain alat musik tradisional panjak mengiringi para penari.
Namun, ia berubah pikiran dan bersedia berlatih tari topeng.
Sejumlah prestasi pernah dicapai olehnya. Yang paling
membanggakan adalha saat mengikuti festival-festival yang diselenggarakan di
Jawa Barat dan Jakarta pada 1974. Ia juga pernah menari di hadapan Presiden RI
ke-2, Soeharto, di Istana Bogor.
Ia kerap berduet dengan sejumlah seniman lain di
Indonesia. Salah satunya Didik Nini Thowok. Namun, sederet piagam penghargaan
dan piala itu harus digadaikan demi memenuhi kebutuhan ekonomi.
Hanya tersisa selembar dokumen piagam penghargaan dan
sehelai foto yang dimiliki Mimi Tumus sebagai saksi bisu. Setelah itu, ia
memutuskan untuk tidak menari lagi selama satu decade.
Mimi
Tumus, maestro tari Topeng Kreyo Cirebon belum memiliki penerus hingga kini.
(Liputan6.com/Panji Prayitno)
Bagi
Mimi Tumus, dokumen-dokumen hasil keseniannya tidaklah penting karena ia merasa
prestasinya tidak dihargai pemerinath Kabupaten Cirebon saat itu. Sejumlah
seniman lain di Cirebon sampai menyebut Mimi Tumus sebagai Jago Kebon.
Mimi
Tumus sempat mengajukan permohonan untuk dibuatkan sanggar tari. Namun, harapan
Mimi Tumus untuk mewariskan kelihaiannya menari topeng Kreyo kepada generasi
penerus tidak pernah terealisasi.
Kepahitan
bertambah saat menyadari Topeng Kreyo punah. Akhirnya orang-orang tidak lagi
mencari. Padahal sampai hari ini Mimi Tumus masih berjalan dengan tegap dan
cekatan.
“Saya
masih mampu berdiri (adeg-adeg)dan
menggerakkan sejumlah tubuh dengan gemulai dan lincah. Bahkan, saya masih hafal
betul bagaimana cara menari yang baik.”Ucap Mimi Tumus.
Mimi
Tumus kini seorang diri. Ia tidak memiliki generasi untuk meneruskan dan
mewariskan Tari Topengnya (Kreyo). “Pernah ada yang mau belajar, tapi belum
lama tidak ada kabarnya.”
Mimi
Tumus kini seorang diri. Ia tidak memiliki generasi untuk meneruskan dan mewariskan
Tari Topengnya (Kreyo). “Pernah ada yang mau belajar, tapi belum lama tidak ada
kabarnya.” Tutur Mimi Tumus.
Tubuhnya
yang sudah tua tidak menyurutkan semangat Mimi Tumus berhenti mencari rezeki.
Tinggal seorang diri. Mimi Tumus kini berprofesi sebagai tukang pijit di
desanya. Peluang untuk terus mempertahankan darah seni Topeng Kreyo seakan
semakin kecil. Tidak banyak warga atau kelompok seni yang meminta Mimi Tumus
untuk kembali ke panggung pertunjukan seni.
“Kadang
warga di Desa Kreyo juga kangen dan rindu sama penampilan Mimi Tumus. Tapi itun
pun hanya momen tertentu. Tidak seperti beberapa tahun silam yang selalu ada
kegiatan kampung.” Ungkap Ketua SLH Cirebon Cecep Supriatna.
Menurut
dia, sang maestro Topeng Kreyo yang itu lebih memilih menjadi pemijat. Itu
dilakukannya semata-mata untuk bertahan menghidupi dirinya sendiri.
Sesekali
Mimi Tumus meluapkan rasa rindunya dengan bercerita kepada warga desa sembari
memeragakan tarian-tarian khas dari Desa Kreyo. Harta benda Topeng Kreyo milik
Mimi Tumus pun kini hanya menjadi kenangan.
Meski
tak lagi aktif sebagai penari Topeng Kreyo, upaya Mimi Tumus untuk mengobati
rasa rindunya akan kesenian daerah masih ada. Mimi Tumus sekarang aktif sebagai
nayaga (penyaron). Kecintaannya mendalam Mimi Tumus terhadap Topeng Kreyo
berharap dapat tetap lestari. Dalam benaknya. Mimi Tumus ingin sekali
mengabadikan tariannya dalam sebuah rekaman video.
“Biar
jangan punah, apalagi kalau saya sudah dipanggil yang kuasa, kan ada rekaman
videonya yang bisa dipelajari sama yang lain. Saya mau sekali direkam biar buat
jadi warisan seni Kreyo.” Ucap Mimi Tumus.
Diposting oleh: Hilda
Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar