Secara umum gambaran kostum tari topeng yang hingga kini dipakai
adalah gambaran kostum para bangsawan atau kalangan raja. Karena terlihat
berbeda dengan pakaian yang dikenakan oleh rakyat jelata. Contohnya adalah dari
cara penggunaan kain panjang dan banyaknya aksesoris pada beberapa bagian
tubuh, hal ini tampaknya berkaitan dengan awal kesenian topeng lahir, yaitu
dikalangan kerajaan.
Keberadaan kostum dalam sebuah pertunjukkan bersifar mutlak, karena
pada dasarnya suatu tarian dapat terungkap dengan sempurna, bila seluruh unsur
pendukung hadir di dalamnya, yaitu music pengiring, tata rias, busana termasuk
ungkapan gerak dan ekspresinya. Dengan kata lain penggunaan busana selain untuk
menambah keindahan tampilan, juga menggambarkan identitas si penarinya. Dalam
kostum tari topeng, ada beberapa unsur pokok yang harus digunakan oleh
penarinya saat melakukan pertunjukan, yang terbagi atas bagian atas, tengah,
dan bawah, sebagai berikut:
Terdiri dari:
Bagian Atas
Hiasan kepala
|
Bagian Tengah
Aksesoris dan baju
|
Bagian Bawah
|
Topeng
|
Kalung
|
Ikat pinggang atau
sabuk
|
Sobrah atau Tekes
|
Kelat bahu
|
Tutup rasa atau katok
|
Sabuk
|
Kain yang disebut dodot
|
|
Gelang
|
selendang disebut soder
|
|
Baju
|
Bagian Atas
Sobrah atau Tekes,
Terdiri atas susunan rambut manusia, berbentuk setengah lingkaran,
dihiasi jamang dari kulit, ditengahnya digantungi dua bulatan tipis yang
disebut picis. Penggunaan sobrah hanya dipakai pada karakter Panji, Paminso,
Rumyang, dan Klana.
Peci-Bendo,
Dipakai pada karakter Patih, perubahan pada penggunaan peci-bendo
sebagai pengganti sobrah dan penggunaan kacamata adalah bentuk serapan dari
masa kolonialisme.
Bagian Tengah
Unsur visual yang ada pada bagian tengah adalah penutup tubuh
berupa baju, krodong sebagai penutup punggung, dan aksesoris yang digunakan
pada bagian leher, yaitu kalung, gelang tangan, tutup rasa yang berfungsi
sebagai ikat pinggang. Uraiaannya sebagai berikut:
Baju sebagai penutup tubuh, warna baju yang digunakan Keni Arja
terbagi menjadi dua karakter, yaitu baju berwarna terang untuk karakter baik,
dan warna gelap untuk karakter jahat.
Krodong yang berfungsi sebagai penutup punggung, terbuat dari kain
batik lokcan dari Juwana-Jawa Tengah, dengan motif burung phoenix.
Kalung mutiara
Kalung yang digunakan adalah
mutiara putih, pada masa sebelumnya
kalung dalam topeng adalah bentuk Wulan Tumanggal
Dasi
Digunakan pada karakter
Panji, Pamindo, Rumyang dan Patih, dan Klana tidak menggunakan dasi
Kace
Kain berwarna emas yang dilekatkan
di dada, digunakan pada tokoh Panji, Pamindo dan rumyang.
Klambi gulu
Kain tambahan yang di adaptasi dari bentuk jas safari para pejabat
di masa kolonial
ombyok
Hiasan dada terbuat dari kain bludru dengan motif teratai,
digunakan pada tokoh Klana
tutup rasa
Berfungsi sebagai ikat pinggang, terbuat dari bludru, motif
sulur-sulur dan teratai,digunakan pada tokoh Panji, Pamindo, Rumyang dan Patih
digunakan pada tokoh Klana, motif bunga teratai
Bagian
Bawah
Unsur visual pada bagian bawah
adalah kain dodot sebagai
penutup bagian
bawah, celana sontog, yaitu celana sebatas lutut, dan soder atau
sampur, yaitu kain yang diikatkan pada bagian pinggang dan dibiarkan lepas di
bagian kiri-kanan pinggang.
kain dodot
Kain dodot lancar gelar untuk Panji
Kain dodot lancar cangcut untuk Pamindo, Rumyang
Kain dodot lancar cangcut untuk Patih dan Klana
motif
kain dodot
Paksi gubahan burung phoenix, lambang
kerajaan, Naga (ular) simbol kehidupan
Mega Mendung lambang awan hitam/hujan pemberi kehidupan,
Tirtamaya., serta Pusar Bumi, sebuah lubang di wilayah keramat
Cirebon,yaitu puncak Gunung Jati.
Celana Sontog
Penggunaan celana adalah
pengembangan dari penutup
kaki, diduga penggunaan penutup
kaki berbentuk celana terjadi pada masa abad 18, hal ini terlihat dalam naskah Damar
Wulan yang menggambarkan ia sedang
menari topeng dan menggunakan celana panjang.
Pada kostum tari Keni Arja, celana yang digunakan panjangnya
sampai batas lutut, diduga pengurangan
penggunaan celana ini berkaitan
dengan aktivitas bebarang
yang dilakikan di lapangan
terbuka, sehingga penari
membutuhkan keleluasan gerak serta aspek kebersihan.
Kain Soder atau Sampur
Selendang yang
diikatkan pada bagian pinggang dan
dibiarkan menjuntai ke arah bawah
melewati batas mata kaki. Selain sebagai
unsur keindahan, soder juga berperan
dalam gerakan tari topeng, seperti gerakan sepak soder. Jenis kain yang
digunakan pada umumnya disesuaikan dengan jenis kain yang dipakai atau warna
kostum yang dikenakan para penari.
Penggunaan soder atau kain sebagai pelengkap dalam kegiatan tari
telah ada sejak dari masa kerajaan Hindu-Budha. Hal ini terlihat dalam arca-arca serta relief yang
ada pada beberapa
panil di Borobudur
yang memperlihatkan pengenaan
kain sebagai salah satu pelengkap dalam kegiatan menari.
Soder tidak bermotif, polos dan berwarna merah muda, digunakan pada
tokoh gagah, yaitu Patih dan Klana.
Soder untuk Karakter
Raja Halus
Soder tidak bermotif, polos dan berwarna merah muda, digunakan pada
tokoh gagah, yaitu Patih dan Klana.
Makna Simbolis pada
Unsur Visual Kostum Tari Topeng
Masa Hindu-Budha di
relief Borobudur, baju
tidak digunakan dalam kegiatan sehari-hari maupun dalam
pertunjukan, tetapi kain hiasan di kepala dan kain penutup kaki telah
digunakan.
Awal abad 18
dalam catatan Raffles,
kostum tari topeng
terlihat tidak
menggunakan baju atau
penutup tubuh, tetapi telah
ada pemberian kain selendang yang
dililitkan pada leher sebatas dada. Pada bagian
kaki telah digunakan celana sepanjang mata kaki, kain penutup kaki dan
hiasan kepala berbentuk setengah lingkaran.
Pada tahun 1879 penari
topeng telah menggunakan
kain penutup berupa kemben, celana sepanjang mata kaki, kain panjang
sebagai penutup kaki dan hiasan
kepala berbentuk setengah lingkaran.
Pada awal abad 19, pertunjukan topeng mulai dipentaskan di
jalanan, penari tidak menggunakan baju. Celana, kain dan hiasan kepala tetap
digunakan tahun 1938, tari topeng mulai ditarikan oleh perempuan, dan kostum
yang digunakan berupa kemben,
kain panjang dan
hiasan kepala berbentuk setengah lingkaran.
Pada tahun 2006 yaitu kostum tari topeng Keni Arja, baju telah
digunakan sebagai penutup tubuh, celana sebatas lutut yang disebut sontog dan
hiasan kepala berbentuk setengah lingkaran.
Makna Simbolis pada
Hiasan Kepala, yaitu Sobrah
Bentuk hiasan pada kepala telah
dikenal sejak masa
kerajaan Hindu-Budha, yang menandakan tingkat kesucian dan atribut
duniawi, yaitu penandaan ataskeberadaan
dirinya yang telah
berada di dunia.
Hal ini dengan
nilai-nilai
filosofis yang terkandung dalam seni pertunjukan tari topeng,
yaitu gambaran siklus hidup
manusia, serta tingkatan iman seorang
manusia. Setiap bentuk-bentuk
yang mengarah ke atas disimbolkan sebagai jalan menuju ke arah atas atau ke
arah Tuhan, sedangkan bentuk
dari setengah lingkaran,
tampaknya mengacu pula pada rotasi
atau siklus perjalanan bulan.
Bulat atau lingkaran adalah sebuah
bentuk yang tidak memiliki akhir, tidak memiliki awal, namun bentuknya
berkelanjutan secara sempurna tanpa terputus. Hal ini dapat diartikan bahwa
manusia dalam hidupnya senantiasa berubah atau disebut tansah
ewah gingsir, selain
itu bentuk lingkaran
ini diartikan pula sebagai
citra dunia, seperti yang
terlihat pada istana-istana
raja Jawa, yang disebut
imago mundi. Bentuk lingkaran
juga ternyata memiliki makna yang universal, dimana bentuk yang mengandung
unsur bulat atau lingkaran sering
disimbolkan sebagai sesuatu yang bermakna wanita dan bersifat sebagai
dunia langit.
Pemaknaan pada bentuk
dan simbol tersebut
mengacu pula pada
sistem perlambangan atau ikonografi yang berdasarkan filosofi
ajaran Islam. Sebagai contoh bentuk
bulat dan setengah bulatan, sebenarnya telah dikenal sejak jaman Rasul, yaitu
berhubungan dengan sinar yang mampu menerangi malam hari, dan bentuk bulan identikkan dengan simbol dari penyebaran
agama Islam. Bentuk bulat dan setengah
bulatan juga sering ditemukan dalam bentuk-bentuk kubah mesjid,
dan disimbolkan sebagi
lambang ketuhanan, atau
lambang menuju kearah jalan Tuhan. Bentuk sobrah yang mengandung unsur
setengah bulatan pada bagian kepala dapat dimaknai sebagai media atau jalan
menuju ke arah atas, dan
kepala adalah pusat
dari kehidupan manusia.
Dalam filosofi Islam, jalan
menuju ke atas adalah jalan menuju
kebaikan, atau lambang dari kualitas iman yang mengarah pada surga.
Diposting oleh: Hilda Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar