Dalam Penyajiannya Topeng Losari
mengedepankan penokohan dari Cerita Panji, berbeda dengan Tari Topeng dari
Wilayah Cirebon lainnya yang lebih mengedepankan watak perkembangan sifat
manusia yang menjurus ke nilai filosofis.
Ada 2 unsur yang mendukung dalam pementasan
Tari Topeng Losari yaitu Dalang Topeng dan Penari Topeng. Dalang Topeng adalah
pelaku tari yang menjalani ritual khusus dengan beberapa fase ritual sebelum
melakukan pementasan tari sedangkan Penari Topeng adalah pelaku tari yang tidak
menjalani ritual sebelum melakukan pementasan tari.
Saat ini yang menarikan Tari Topeng Losari
adalah Nur Anani M Irman atau sering dipanggil Nani Topeng Losari yang
merupakan generasi ke tujuh trah langsung penari Topeng Losari atau disebut
juga Dalang Topeng Losari. Nani Topeng Losari adalah cucu dari Maestro Ibu Dewi
Sawitri (Dalang Topeng dari Losari yang merupakan generasi ke enam dari trah
Topeng Losari).
Nani sebagai Dalang Topeng Losari menari selalu dengan mata tertutup dan tidak pernah memperdulikan penonton apakah jumlahnya banyak atau sedikit karena bagi Tari Topeng Losari, menari lebih kepada berdoa untuk Tuhan, tubuh dan bumi. Meski pada hakikatnya bahwa di Topeng Losari tarian lebih menggambarkan tentang penokohan dan lebih ke penjiwaan bukan tentang filosofis.
Pakem Tari Topeng Losari, Kotak Topeng dan
Nayaga dijadikan sebagai pusat atau patokan energi, sebab dalang Topeng Losari
dari generasi ke generasi percaya sekali bahwa di antara gamelan ada Sembilan
Wali, Dalang-dalang Topeng di Cirebon percaya bahwa Tari Topeng berasal dari
Wali yaitu salah satunya Sunan Kalijaga, tetapi kemudian di Topeng Losari
disempurnakan oleh Raden Angka Wijaya atau Pangeran Losari.
Oleh sebab itu di Topeng Losari, Dalang
Topeng atau penari selalu atau lebih banyak menghadap ke arah Kotak Topeng dan
Nayaga ketika menari, begitu juga halnya dengan penyajian Topeng Losari, di
pakem Topeng Losari disela tarian selalu diselingi dengan bodoran lakon atau
juga disebut dengan selingan lawak yang melibatkan beberapa Nayaga, ini berlaku
dari generasi ke generasi dan pakem tersebut sampai seterusnya tidak boleh
dihilangkan.
Tari topeng losari
secara history sangat kuat memegang tradisi, lebih ke
ritual dan lebih mengedepankan sakralitas. Itu sebabnya pada saat Dalang Topeng
yang menari tidak boleh memakai make up karena
meritualkan diri. Tari Topeng Losari dijadikan media ritual pendekatan antara
Tuhan dan bumi. Jadi Dalang Topeng dalam Tari Topeng Losari berada di tengahnya
antara langit dan bumi sebagai media ritual 3 dimensi.
“Tari Topeng Losari tidak boleh jauh dari
penonton karena memang kita lahir dari rakyat, kita besar oleh masyarakat dan
energi kita dari penonton. Topeng yang dipakai dalam pementasan Tari Topeng
Losari tidak ada lobang matanya untuk melihat. Yang membuat Pangeran Losari
bersamaan dengan dibuatnya Kereta Singobarong yang ada di Keraton Kasepuhan.
Kami punya 80 topeng yang masih asli dan benar-benar dijaga keasliannya, belum
dicat ulang dan kondisinya tetap utuh”.
“Costume yang
dipakai setiap pementasan Tari Topeng Losari semua warisan dari nenek moyang.
Mulai dari kain jarit nya, topeng, sobra dan perlengkapan lainnya. Sobra yang
dipakai terbuat dari rambutnya Pangeran Losari. Sobra harus rambut asli nenek
moyang”, pungkas Nani Dewi Sawitri yang merupakan generasi ke tujuh dari Pangeran
Losari.
Tari Topeng Gaya Losari memiliki ciri
yang berbeda dengan Tari Topeng Gaya Cirebon lainnya, baik dilihat dari latar
belakang, penokohan, koreografi, tata busana, wanda kedok, musik maupun tata
cara penyajian.
Tiga gerak yang menjadi ciri khas menarik
dalam Gaya Losari adalah Gerak Galeyong (gerakan kayang yang sobranya sampai
menyentuh bawah), Pasang Naga Seser (Kuda-kuda menyamping lebar) menyerupai
sikap Kathakali di India dan sikap Gantung Kaki yang mirip sekali dengan Kaki
Patung Dewa Shiwa sebagai Nataraja dari India yang mengharuskan penarinya
memperlihatkan telapak kakinya ke samping.
Urutan tarian dari Tari Topeng losari :
Tari Panji Sutrawinangun
Tari Rampak Patih Jayabadra
Tari Tumenggung
Magangdiraja
Tari Rampak Klana Bandopati
Tari Klana Bandopati
TARI PANJI SUTRAWINANGUN, sering disebut juga Tari Pamindo karena lagu pengiringnya
Pamindo. Di Topeng Losari Tari Pamindo disebut juga sebagai Tari Panji. Diberi
nama Tari Panji karena tokoh wayanganya adalah Raden Panji Sutrawinangun atau
tokohnya yang disebut sebagai Raden Panji Sutrawinangun atau Sebagai Tokoh
Wayang Samba di Cerita Topeng Losari.
Tari Pamindo atau Panji
Sutrawinangun menggambarkan Tentang Tokoh Raden Panji yang mempunyai
karakter Lembut, Lungguh dan Kharismatik. Di topeng Losari Cirebon
Panji menggambarkan sifat manusia yang baru di lahirkan, di dalamnya
terkandung makna kejujuran, kepolosan dan apa adanya dan kemurnian jiwa manusia
yang baru menginjak bumi, di gambarkan oleh warna kedok berwarna putih
kekuningan, makna “Baru Dilahirkan” di sini menggambarkan sebuah filosofi
tentang kesucian dan keagungan. Karakter dari tarian ini adalah Lanyap (Sedikit Gagah) yang di dahului oleh bagian
dodoan yang halus dan hampir tidak melangkah, kedoknya berparas seorang putri
cantik.
TARI PATIH JAYABADRA, Tarian ini mempunyai
karakter setengah ponggawa (gagah dan agak kasar) kedok yang di pakai adalah
kedok Patih yang berwarna merah jingga. Tokoh wayangnya adalah Patih Jayabadra
dalam cerita Jaka Penjaring dan Jaka Buntek.
TARI TUMENGGUNG
MAGANGDIRAJA, Karakter dari tarian ini adalah ponggawa (gagah dan agak
kasar), tokoh wayangnya adalah Tumenggung Magangdiraja dari negara Tumasik.
Kedok yang dipergunakan mempunyai ekspresi galak dan berwarna putih.
TARI KLANA BANDOPATI, Tari Klana Bandopati adalah
tarian yang berkarakter kuat, gagah dan kasar sehingga membutuhkan stamina yang
baik, karena jenis tariannya sangat dinamis dan lebih menitik beratkan pada
penguasaan intesitas tenaga dan tekhnik gerak serta penjiwaan karakter. Tokoh
wayanganya adalah Prabu Klana Bandopati dari cerita Jaka Buntek, kedoknya
berwarna merah tua berparas raksasa Buas.
Di Topeng Losari Tari Klana lebih
menggambarkan tokoh seorang raja bernama Klana Bandopati. Klana Bandopati
menggambarkan sifat manusia penuh angkara murka dan sombong, digambarkan dengan
warna kedok merah, mata melotot, ini merupakan makna gambaran sifat
manusia yang tidak baik dengan pesan moral agar sifat seperti ini jangan
ditiru. (Widya)
Diposting oleh: Hilda Rahmawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar